BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu
pengetahuan belum berhasil menguaknya.Satu satunya jawaban tersedia di dalam
ajaran agama.Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini,
merupakan hak dari Tuhan.Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menunda
sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu kematiannya.
Euthanasia
merupakan tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak
menyakitkan,ketika tindakan tersebutdapat dikatakan sebagai bantuan untuk
meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya. Secara umum kematian adalah suatu topik yg sangat ditakuti oleh
publik.Dalam kontak kesehatan modern, kematian tidaklah menjadi sesuatu yg datang
secara tiba-tiba.Kematian juga dapat dilakukan secara legal dan masih menjadi
kontrofersi dikalangan masyarakat khususnya didunia kesehatan.Pembunuhan secara
legal yg kita kenal yaitu EUTHANASIA.Euthanasia dapat juga diartikan sebagai
suatu tindakan yg dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian tanpa
adanya rasa sakit.
Sehubungan dengan beberapa hal
diatas, penulis mengangkat judul
“Euthanasia”. Hal ini dimaksudkan agar pembaca mengetahui lebih luas
tentang Euthanasia.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar
belakang masalah diatas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apakah pengertian Euthanasia?
2.
Apa
Konsep tentang kematian ?
3.
Apa saja jenis-jenis dari Euthanasia ?
4.
Bagaimana
Etik & Hukum Tentang Euthanasia di
Indonesia maupun
Negara-negara lain ?
5.
BagaimanakahPro
& Kontra pada Euthanasia ?
C. TUJUAN PENULISAN
Sebagaimana rumusan masalah diatas, penulis mempunyai
tujuan sebagai berikut:
1.
Untuk
memahami pengertian Euthanasia?
2.
Untuk
mengetahui Konsep tentang kematian ?
3.
Untuk
memahami apa jenis-jenis dari Euthanasia ?
4.
Untuk
memahami bagaimanakah Etik
& Hukum Tentang Euthanasia di Indonesia maupun Negara-negara lain ?
5.
Untuk
mengetahui Pro & Kontra pada Euthanasia ?
D. MANFAAT PENULISAN
Sebagaimana
mempunyai tujuan seperti yang tersebut diatas, penulis mempunyai manfaat
sebagai berikut :
1. Manfaat secara teoristis sangat diharapkan karya ini
dapat memberikan informasi yang berguna bagi para khalayak.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pembaca
Sebagai bahan wacana yang dapat di
gunakan untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam mempelajari makalah tentang
Euthanasia.
b. Bagi Penulis
Sebagai sarana untuk menambah pengalaman
dalam penulisan karya tulis,serta untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang Euthanasia.
c. Bagi Penulis lain
Dapat menjadi bahan yang dapat digunakan
sebagai tambahan informasi,dan referensi apabila penulis lain melakukan
penelitian serupa agar mampu membuat makalah yang lebih sempurna.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN EUTHANASIA
Euthanasia
(eu = baik, thanato = mati) atau good death / easy death sering pula disebut “mercy killing”. Pada hakekatnya
pembunuhan atas dasar perasaan kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang
disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the
right self of determination) pada diri pasien. Hak ini menjadi unsur utama
hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut.
Demikian
pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang
kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas pemahaman
mengenai euthanasia.Namun, uniknya kemajuan dan perkembangan yang pesat ini
rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika.
Pakar
hukum kedokteran Prof. Separovic, menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia
kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum
di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju
di pihak lain.
Menurut
Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy killing).Tindakan ini biasanya
dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin
lagi untuk bisa sembuh.
Di dunia
etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti
“mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius
menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”.
Euthanasia
Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia
adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk
memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan
khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.
B.
KONSEP-KONSEP
KEMATIAN
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep
tentang kematian.Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari
kematian dengan mempergunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah
baru dalam euthanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang
dinyatakan telah mati.
Berikut ini beberapa konsep tentang mati
1.
Mati sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari kriteria mati berupa berhentinya jantung.Dalam PP
No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan
paru-paru.Namun kriteria ini sudah ketinggalan zaman.Dalam pengalaman
kedokteran, teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang
semula terhenti dapat dipulihkan kembali.
2.
Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari
tubuh
Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada tindakan resusitasi
yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat
ditarik kembali.
3.
Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
Konsep inipun dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri
tanpa terkendali karena otak telah mati.Untuk kepentingan transplantasi, konsep
ini menguntungkan.Namun, secara moral tidak dapat diterima karena kenyataannya
organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.
4.
Hilangnya manusia secara permanen untuk
kembali sadar dan melakukan interaksi social.
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk sosial, yaitu individu
yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kemampuan mengingat,
mengambil keputusan, dan sebagainya, maka penggerak dari otak, baik secara
fisik maupun sosial, makin banyak dipergunakan.Pusat pengendali ini terletak
dalam batang otak.Olah karena itu, jika batang otak telah mati, dapat diyakini
bahwa manusia itu secara fisik dan sosial telah mati.Dalam keadaan seperti ini,
kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi.
Yang penting dalam penentuan saat mati di sini adalah proses kematian
tersebut sudah tidak dapat dibalikkan lagi (irreversibel), meski menggunakan
teknik penghidupan kembali apapun.
C.
JENIS-JENIS
EUTHANASIA
1. Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Ditinjau dari sudut maknanya maka
eutanasia dapat digolongkan menjadi empat yaitu euthanasia aktif, euthanasia pasif,
eutanasia agresif dan eutanasia non agresif
a. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah
suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh dokter atau tenaga kesehatan
untuk mencabut atau mengakhiri hidup sang pasien, misalnya dengan memberikan
obat-obat yang mematikan melalui suntikan, maupun tablet.
b. Eutanasia pasif
Juga bisa dikategorikan sebagai
tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau
langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit.Tindakan pada
eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan
bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau
tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun
meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup
pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin
walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu
mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan
oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa
dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian
seseorang atau keputusasaan keluargan karena ketidak sanggupan menanggung beban
biaya pengobatan. Ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang tidak mungkin
untuk membayar biaya pengobatannya, dan pihak rumah sakit akan meminta untuk
dibuat "pernyataan pulang paksa". Bila meninggal pun pasien
diharapkan mati secara alamiah.Ini sebagai upaya defensif medis.
c.
Eutanasia
agresif
Suatu tindakan secara sengaja yang
dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau
mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang
mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat
yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
d.
Eutanasia
non agresif
Atau kadang juga disebut
autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang termasuk kategori eutanasia negatif
yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima
perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat
sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia pada
dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan.
2. Eutanasia ditinjau dari sudut pemberitahuan
Ditinjau dari sudut pemberian izin
maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
a. Eutanasia di luar kemauan pasien
Yaitu suatu tindakan eutanasia yang
bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup.Tindakan eutanasia
semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
b. Eutanasia secara tidak sukarela
Eutanasia semacam ini adalah yang
seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang
keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak
berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya
statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri
Schiavo).Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali
mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
c. Eutanasia secara sukarela
Dilakukan atas persetujuan si pasien
sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.
3. Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa tujuan pokok dari
dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
a.
Pembunuhan berdasarkan belas kasihan
(mercy killing)
b.
Eutanasia berdasarkan bantuan dokter,
ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela
D.
ETIK & HUKUM EUTHANASIA DI INDONESIA
MAUPUN NEGARA-NEGARA LAIN.
1. EUTHANASIA DIPANDANG DARI KODE ETIK KEPERAWATAN DI INDONESIA DAN NEGARA
LAIN
Mengapa
manusia harus berilmu karena manusia pada dasarnya ingin mewujudkan “makna”
hidupnya baik yang menyangkut material, imaterial maupun suasana batinnya,
karena segala macam upaya dilakukan untuk mendapatkan ilmu.
Ilmu
yang oleh banyak orang dikatakan bebas nilai, seringkali harus berhadapan
dengan kenyataan hidup dalam konteks relasi sosial. Karenanya kemudian timbul
istilah etika ilmu pengetahuan, walaupun etika itu sendiri tidak termasuk dalam
kawasan ilmu. Hal-hal seperti ini akan sangat jelas terasa pada ilmu-ilmu yang
secara langsung dan segera berhubungan dengan kebutuhan manusia, seperti ilmu
biologi, kedokteran dan lainnya yang dekat dengan kebutuhan “primer” manusia.
Menghadapi
realita semacam itu maka sangat terasa untuk memasukkan dimensi etis dalam
pengembangan ilmu maupun penerapan ilmu dalam kehidupan keseharian. Sebagai
contoh teknologi transgenik, cloning merupakan isu yang banyak menyita
perhatian umat manusia karena menyangkut secara langsung kehidupannya. Ketika
ditemukan teknologi operasi plastik untuk merubah bentuk bagian-bagian tubuh
serta teknologi sejenisnya, perdebatan diantara pihak yang pro maupun kontra
nampak nyata terletak pada perdebatan dimensi etika dan bukan pada
ilmu/teknologinya itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi etika tidak
dapat dipisahkan dengan ilmu itu sendiri. Walaupun dilain pihak ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak dapat dan tidak perlu dicegah perkembangannya.
Apalagi ilmu yang menyangkut langsung kepada keputusan tentang hidup matinya
manusia yaituEuthanasia dapat dipastikan menjadi bahan perdebatan yang
tidak saja menyangkut dimensi etis, tetapi telah melibatkan dimensi-dimensi
lain yang masing-masing memiliki standar/ukuran kebenaran.
Bila
kembali pada kebenaran yang menjadi pijakan dalam pengembangan ilmu, serta
realitas adanya berbagai macam ilmu, maka setiap ilmu harus dinilai dengan
standarnya sendiri. Selanjutnya dalam rangka situasi sosial yang ada maka
penilaian tersebut akan dengan sendirinya bersifat relatif.
Dalam
euthanasia, setidaknya terdapat empat macam ilmu yang terlibat didalamnya yaitu
hukum, hak asasi, biologi/kedokteran dan agama, yang pasti masing-masing
memiliki standar kebenaran yang berbeda. Pertanyaannya tentu bagaimana proses
keputusan euthanasia harus diambil untuk dapat dilaksanakan tanpa melanggar
kebenaran masing-masing, untuk itu tidak ada jalan lain, selain mengikuti
kebenaran relatif.
Etika,
sering lebih terasa digunakan sebagai pijakan oleh praktisi ilmu, dibanding
pihak yang mengembangkan ilmu itu sendiri. Profesi-profesi seperti ahli hukum,
dokter dan sebagainya merupakan praktisi ilmu yang sering dituntut secara kuat
etikanya dalam menerapkan ilmunya. Pertanyaannya adalah etika yang mana yang
harus digunakan oleh seorang praktisi ilmu. Lebih lanjut apabila beberapa ilmu
harus berperan secara bersama-sama, maka etika yang harus digunakan tentu
diutamakan etika yang berlaku bagi masyarakat pengguna ilmu tersebut.
Ilmu
yang seharusnya menjadikan hidup lebih mudah, lebih nikmat, lebih efisien dan
sebagainya, seringkali justru membelenggu hakekat sebagai manusia, bahkan dapat
secara nyata menghancurkan kehidupan. Kekecewaan Einstein terhadap penggunaan
hukum fisika modern dalam kasus Hiroshima, “kemajuan
teknologi industri di satu pihak dan polusi yang ditimbulkannya merupakan
contoh bahwa kemajuan ilmu memiliki dua sisi yang saling kontradiktif”.
Demikian pula penemuan-penemuan dibidang kedokteran seringkali sangat mudah
dilihat sisi positif dan negatifnya, seperti penggunaan bahan dalam anestesi,
teknik-teknik pembedahan, fertilitas, euthanasia dan sebagainya. Kenyataan tersebut menunjukkan semakin jelas bahwa ilmu bersifat bebas
nilai. Disinilah pentingnya norma dan etika dalam penggunaan ilmu, yang
hendaknya menjadi konsensus bagi umat manusia. Klaim-klaim hukum terhadap
tindakan dokter dalam euthanasia merupakan bentuk lain dari sisi negatif dalam
penerapan ilmu, yang terkadang sama sekali tidak terbayangkan oleh dokter yang
bersangkutan.
2. ASPEK HUKUM DALAM PELAKSANAAN EUTHANASIA DI INDONESIA
Setiap makhluk
hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari
proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai
permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian.
Dari proses siklus
kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri
besar, & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya.
Untuk dapat
menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik
yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan
hak dari Tuhan.Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk
mempercepat waktu kematian.Tapi, bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna
menghentikan penderitaannya?
Hak pasien untuk
mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap
dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan
perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.
Adakah sesuatu yang
istimewa yang membuat euthanasia selalu menarik untuk dibicarakan?Para ahli
agama, moral, medis, & hukum belum menemukan kata sepakat dalam menghadapi
keinginan pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Situasi ini
menimbulkan dilema bagi para dokter, apakah ia mempunyai hak hukum untuk
mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, dengan dalih mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan, tanpa
dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Sudah barang tentu dalam hal
ini dokter tersebut menghadapi konflik dalam batinnya.
Sebagai dampak dari
kemajuan kemajuan ilmu & teknologi kedokteran (iptekdok), kecuali manfaat,
ternyata berdampak terhadap nilai-nilai etik/moral, agama, hukum, sosial,
budaya, & aspek lainnya.
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi telah membuat kabur batas antara hidup & mati.
Tidak jarang seseorang yang telah berhenti pernapasannya & telah berhenti
denyut jantungnya, berkat intervensi medis misalnya alat bantu nafas
(respirator), dapat bangkit kembali.
Kadang upaya
penyelamatan berhasil sempurna tanpa cacat, tapi terkadang fungsi pernapasan
& jantung kembali normal, tanpa disertai pulihnya kesadaran, yang terkadang
bersifat permanen. Secara klinis dia tergolong “hidup”, tetapi secara sosial
apa artinya? Dia hanya bertahan hidup dengan bantuan berbagai alat medis.
Bantuan alat medis
tersebut menjadi patokan penentuan kematian pasien tersebut.Permasalahan
penentuan saat kematian sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh
dokter maupun keluarga pasien dalam kelanjutan pengobatan, apakah dilanjutkan
atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas
menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa ke fase
kematian. Penghentian tindakan medis tersebut merupakan salah satu bentuk dari
euthanasia.Sampai saat ini, euthanasia masih menimbulkan pro & kontra di
masyarakat.
Mereka yang
menyetujui tindakan euthanasia berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu
tindakan yang dilakukan dengan persetujuan & dilakukan dengan tujuan utama
menghentikan penderitaan pasien.Prinsip kelompok ini adalah manusia tidak boleh
dipaksa untuk menderita.Dengan demikian, tujuan utama kelompok ini yaitu
meringankan penderitaan pasien dengan memperbaiki resiko hidupnya.
Kelompok yang
kontra terhadap euthanasia berpendapat bahwa euthanasia merupakan tindakan
pembunuhan terselubung, karenanya bertentangan dengan kehendak Tuhan.Kematian
semata-mata adalah hak dari Tuhan, sehingga manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan kematiannya.
Menurut PP no.18/1981 pasal 1g: menyebutkan
bahwa: “Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli
kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan, & atau denyut
jantung seseorang telah berhenti”. Definisi mati ini merupakan definisi yang
berlaku di Indonesia.
Mati itu sendiri
sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berhentinya kehidupan
secara permanen (permanent cessation of life). Hanya saja, untuk memahaminya
terlebih dahulu perlu memahami apa yang disebut hidup.
Para ahli
sependapat jika definisi hidup adalah berfungsinya berbagai organ vital
(paru-paru,jantung, & otak) sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh
adanya konsumsi oksigen. Dengan demikian definisi mati dapat diperjelas lagi
menjadi berhentinya secara permanen fungsi organ-organ vital sebagai satu
kesatuan yang utuh, ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen.
Meskipun euthanasia
bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi hukum yang sangat
luas, baik pidana maupun perdata.
Pasal-pasal dalam
KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan
adalah dilarang.Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan.
Berikut adalah
bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut:
Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain
karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima
belas tahun.”
Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana,
dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara
selama-lamanya duapuluh tahun.”
Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan
orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh
dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.”
Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh
diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi
bunuh diri.”\
Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau
kelalaian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana
kurungan selama-lamanya satu tahun”
Pada dewasa ini,
para dokter & petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam
bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis dari
semua masalah yang ada itu. Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang
menyulitkan bagi para dokter & tenaga kesehatan.Mereka seringkali
dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang tidak
dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang seringkali menimbulkan
penderitaan berat pada penderitanya.Pasien tersebut berulangkali memohon dokter
untuk mengakhiri hidupnya.Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat disebut
euthanasia.
Beberapa ahli hukum
berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada gunanya seperti
misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai
penganiayaan.Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar
kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain,
apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak
lagi berkompeten melakukan perawatan medis, & dapat dijerat hukum sesuai
KUHP pasal 351 tentang penganiayaan, yang berbunyi :
(1)
Penganiayaan diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
(2)
Dengan penganiayaan disamakan sengaja
merusak kesehatan.
Hubungan hukum dokter-pasien juga
dapat ditinjau dari sudut perdata, yaitu pasal 1313, 1314, 1315, & 1319
KUHPer tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau
perjanjian.Pasal 1320 KUHPer menyebutkan bahwa untuk mengadakan perjanjian
dituntut izin berdasarkan kemauan bebas dari kedua belah pihak.Sehingga bila
seorang dokter melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien, secara hukum
dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.Tindakan menghentikan
perawatan medis yang dianggap tidak ada gunanya lagi, sebaiknya dimaksudkan
untuk mencegah tindakan medis yang tidak lagi merupakan kompetensinya, &
bukan maksud untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
Dengan kata lain, dasar etik moral
untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan
pasien & bukan mengakhiri hidup pasien. Ini sesuai dengan pendapat
Prof.Olga Lelacic yang mengatakan: Dalam kenyataan yang meminta dokter untuk
mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak ingin mati, tetapi ingin mengakhiri atau
ingin lepas dari penderitaan karena penyakitnya.
Apakah hak untuk mati dikenal di
Indonesia ? Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk
mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati
adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri
sendiri” (the right of self determination/TROS) sehingga penolakan atas
pengakuan terhadap hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia
yang tidak dapat disimpangi oleh siapapun & menuntut penghargaan &
pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
a.
Berpindahnya ke alam baka dengan
tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di
bibir.
b.
Waktu hidup akan berakhir,
diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
c.
Mengakhiri penderitaan & hidup
seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya.
3. ASPEK HUKUM DALAM PELAKSANAAN EUTHANASIA DI NEGARA LAIN
Sejauh ini euthanasia diperkenankan
yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di Negara bagian Oregon di
Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa Negara dinyatakan sebagai kejahatan
seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark termasuk di Indonesia.
a. Euthanasia di Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda
menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia, undang-undang ini
dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda
menjadi Negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia.
Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tidak dapat disembuhkan lagi,
diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa
dalam KItab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri
berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan criminal.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda
secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus
euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai
betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002,sebuah konvensi yang berusia 20
tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang Belanda, dimana seorang dokter yang
melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
b. Euthanasia di Australia
Negara bagian Australia,
Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang
mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak
bertahan lama.Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang
disebut “Right of the terminally ill bill” (UU tentang hak pasien
terminal).Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan maret
1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik
kembali.Dengan demikian menurut aturan hukum di Australia, tindakan euthanasia
tidak dibenarkan.
c. Euthanasia di Belgia
Parlemen Belgia
telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002.Para
pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya
telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun
mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga
timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan “birokrasi kematian”.
Belgia kini menjadi negara ketiga
yang melegalisasi eutanasia ( setelahBelanda
dan negara bagian Oregon
di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari
partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang
tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis
adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan
hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.
d. Euthanasia di Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal
dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika
yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak
mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon,
yang pada tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU
tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8].
Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan
euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup
ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan
untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan
keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara
lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis
(dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan
keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis
penyakit dan prognosis
serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam
keadaan gangguan mental.Hukum
juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya
tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi
yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga
simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang
Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat
AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti
nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu
sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.
e. Euthanasia di Swiss
Di Swiss,
obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss
ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum,
pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937
dan dipergunakan sejak tahun 1942,
yang pada intinya menyatakan bahwa “membantu suatu pelaksanaan bunuh diri
adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk
kepentingan diri sendiri.”
Pasal 115 tersebut hanyalah
menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap
obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.
f. Euthanasia di Inggris
Pada tanggal 5 November 2006,
Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain’s Royal College of
Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan
Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya
izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns).
Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris
melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi
faktor “kemungkinan hidup si bayi” sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia
masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris
demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari
Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA)
yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.
E. PRO
& KONTRA PADA EUTHANASIA
Euthanasia atau suntik mati hingga
kini masih menjadi pro kontra di Indonesia.Secara moral dan etika, Euthanasia
tidak dibenarkan karena dianggap tidak ada bedanya dengan tindakan pembunuhan.
Namun disisi lain, Euthanasia adalah sebuah pilihan bagi pasien yang secara
medis tidak punya harapan hidup lagi.
Belanda menjadi negara pertama di
dunia yang mengizinkan seorang dokter mengakhiri hidup pasien, akibat penyakit
yang dinilai tidak lagi bisa disembuhkan dan menyebabkan penderitaan yang tidak
tertanggungkan.
Menurut undang-undang negara itu,
tindakan Euthanasia dapat diizinkan jika ada rekomendasi medis yang dikeluarkan
setelah mempertimbangkan tiga hal. Yaitu pasien di nilai tidak dapat
disembuhkan, ia dalam keadaan sadar dan sepenuhnya setuju dengan prosedur yang
akan ditempuh dan penderitaannya dinilai tidak lagi tertanggungkan.
Undang-Undang Euthanasia yang
pertama di dunia sebenarnya lahir di Australia.Undang undang itu disahkan di
parlemen negara bagian Australia Utara pada tahun 1996.Namun pemerintan Federal
menolaknya 8 bulan kemudian. Di banyak negara lain, Euthanasia masih dianggap
tidak ada bedanya dengan pembunuhan. Karena masalah moral, etika maupun
religius, Euthanasia tetap tabu dilakukan.
Adapun Pro & Kontra tentang Euthanasia
diantaranya sebagai berikut:
1. Pro Euthanasia
Kelompok
ini menyatakan bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan, dengan
tujuan utama menghentikan penderitaan pasien.Salah satu prinsip yang menjadi
pedoman kelompk ini adalah pendapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk
menderita.Jadi, tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan pasien.
Argumen
yang paling sering digunakan adalah argumen atas dasar belas kasihan terhadap
mereka yang menderita sakit berat dan secara medis tidak mempunyai harapan
untuk pulih. Ada dua argumen dalam pro Euthanasia, diantaranya:
a.
Argumen
pokok, bahwa kematian menjadi jalan yang dipilih demi menghindari rasa sakit
yang luar biasa dan penderitaan tanpa harapan si pasien.
b.
Argumen
perasaan hormat atau agung terhadap manusia yang ada hubungannya dengan suatu
pilihan yang bebas sebagai hak asasi. Setiap orang memiliki hak asasi. Di
dalamnya termasuk hak untuk hidup maupun hak untuk mati.
2. Kontra Euthanasia
Setiap
orang menerima prinsip nilai hidup manusia.Orang-orang tidak beragama pun, yang
tidak menerima argumen teologis mengenai kesucian hidup, setuju bahwa hidup
manusia itu sangat berharga dan harus dilindungi.Mereka setuju bahwa membunuh
orang adalah tindakan yang salah.Bagi mereka, euthanasia adalah suatu
pembunuhan yang terselubung.Bagi orang beragama, euthanasia merupakan tindakan
immoral dan bertentangan dengan kehendak Tuhan.Mereka berpendapat bahwa hidup
adalah semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga tidak ada seorang pun
atau institusi manapun yang berhak mencabutnya, bagaimanapun keadaan penderita
tersebut.Dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak memiliki
hak untuk mati.
Penolakan
euthanasia ini berkaitan erat dengan penolakan abortus atas dasar argumen
“kesucian hidup”. Karena kehidupan itu sendiri berharga, maka hidup manusia
tidak pernah boleh diakhiri dalam keadaan apa pun juga. Banyak orang menolak
euthanasia langsung atau aktif karena takut akan “menginjak lereng licin” (the
slippery slope). Jika kita boleh membunuh orang yang sedang dalam proses
meninggal dunia atau pasien koma yang irreversible maka bisa jadi kita
akan memperluas pengertian dan mulai membunuh bayi yang baru lahir, mereka yang
sakit jiwa, anak cacat mental, orang yang tidak produktif atau secara sosial
tidak diinginkan. Begitu batas-batas untuk membunuh diperluas, tidak ada lagi
orang yang aman.
Argumen yang lain adalah argumen
berdasarkan ihwal mengasihi diri sendiri. Ihwal mengasihi diri sendiri secara
bertanggung jawab melarang euthanasia. “Memberikan kehidupan sebagai hadiah dan
korban bagi kehidupan orang lain dapat dibenarkan, sementara menyebabkan kematian
secara langsung karena kesulitan pribadi tidak dibenarkan”. Dasar bagi larangan
tersebut adalah panggilan Allah atas manusia agar mewujudkan potensi dirinya
dan mencapai kepenuhan diri.Manusia juga harus terbuka terhadap horizon makna
ini, juga dalam situasi kemalangan, sakit, penderitaan, yang dapat mendorongnya
untuk melakukan bunuh diri, karena kehidupan fisik manusia selalu ditopang dan
dilindungi Allah yang menjamin makna hidup.
Ada beberapa alasan pro-kontra
euthanasia aktif :
Alasan pro euthanasia antara lain:
1. Adanya hak moral bagi setiap orang
untuk mati terhormat. Maka seseorang mempunyai hak memilih cara kematiannya.
2. Adanya hak privasi yang secara legal
melekat pada tiap orang. Maka seseorang berhak sesuai privasi nya.
3. Euthanasia adalah tindakan belas –
kasihan/kemurahan pada si sakit. Maka tidak bertentangan dengan
peri-kemanusiaan. Meringankan penderitaan sesama adalah tindakan kebajikan.
4. Euthanasia adalah juga tindakan
belas kasih pada keluarga. Bukan hanya si sakit yang menderita, tetapi juga
keluarganya. Meringankan penderitaan si sakit berarti meringankan penderitaan
keluarga khususnya penderitaan psikologis.
5. Euthanasia mengurangi beban ekonomi
keluarga. Dari pada membuang dana untuk usaha yang mungkin sia-sia, lebih baik
uang dipakai untuk keluarga yang masih hidup.
6. Euthanasia meringankan beban biaya
sosial masyarakat, bukan hanya dari segi ekonomi tetapi juga beban sosial
misalnya dengan mengurangi biaya perawatan mereka yang cacat secara permanen.
Alasan-alasan
kontra euthanasia aktif, dikemukakan sebagai berikut :
1. Tidak ada alasan moral apapun yang
mengijinkan seseorang melakukan ‘pembunuhan’ maupun ‘bunuh diri’. Kematian
adalah hak Allah. Maka tidak ada hak manusia untuk memilih cara kematiannya.
2. Hak privasi adalah hak yang dinikmati
dalam hidup. Hak hidup memang tak terbatas, tetapi hak ‘privasi’ selalu
terbatas, bahkan dalam kehidupan yang dijalani sehari-hari. Selalu privasi bisa
dibatasi oleh hak privacy orang lain. Maka hak privasi tidak relevan digunakan
mengklaim hak untuk memilih cara kematian seseorang.
3. Walaupun euthanasia dapat mengakhiri
penderitaan, euthanasia tetaplah suatu pembunuhan. Kalau penderitaan diakhiri
dengan euthanasia, itu sama artinya menghalalkan cara untuk tujuan tertentu.
Rumus tersebut tidak bisa diterima secara moral.
BEBERAPA KASUS YANG
TERJADI
Kasus Hasan Kusuma –
Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan
eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami
bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian
Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu
ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan
pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di
luar keinginan pasien.Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir
pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.
Kasus
seorang wanita New Jersey - Amerika Serikat, Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika
Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan
alat bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan
zat psikotropika secara berlebihan.Oleh karena tidak tega melihat penderitaan
sang anak, maka orangtuanya meminta agar dokter menghentikan pemakaian alat
bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan,
dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orangtua pasien ditolak, namun
pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun
dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat bantu
tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan koma. Dan
baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut
meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).
Kasus Terri Schiavo
Artikel utama untuk
bagian ini adalah: Terri Schiavo
Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida,
13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan
(feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat
hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan
oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans
tim medis langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena
cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat
kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh
ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya.Oleh karena itu, dokternya
kemudian dituduh malapraktek dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena
dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada
pasiennya.
Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma,
maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan
permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa
dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri
Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh
langkah hukum guna menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa
makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari
harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi.Ketika akhirnya
hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung
keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika
Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk
meninjau kembali keputusan hakim tersebut.Undang-undang ini langsung didukung
oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George
Walker Bush.Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah
independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan
hakim terdahulu.
Kasus "Doctor
Death"
Dr. Jack Kevorkian yang dijuluki "Doctor Death",
seperti dilaporkan Lori A. Roscoe <35>. Pada awal April 1998, di Pusat
Medis Adven Glendale<36> ,di California diduga puluhan pasien telah
"ditolong" oleh Kevorkian untuk menjemput ajalnya di RS tersebut.
Kevorkian berargumen apa yang dilakukannya semata demi "menolong"
mereka. Tapi para penentangnya menyebut, apa yang dilakukannya adalah
pembunuhan.
Kasus rumah sakit
Boramae – Korea
Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang
terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati (liver cirrhosis). Tiga bulan
setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut
alat bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien.
Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk
memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan melakukan
pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien
sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasangi alat bantu pernapasan tersebut.
1 minggu sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis
hati yang telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun
respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama 24
jam saja.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
HAM yang terutama adalah “hak untuk hidup”, yang dimaksudkan
untuk melindungi nyawa seseorang terhadap tindakan sewenang-wenang dari orang
lain. Oleh karena itu masalah euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian
yang terjadi karena pertolongan dokter atas permintaan sendiri atau
keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja pasien yang sedang sakit
tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup milik pasien.
Tetapi dalam perkembangannya, di negara maju seperti Amerika
Serikat, diakui pula adanya ‘hak untuk mati’ walaupun tidak mutlak.Dalam
keadaan tertentu, euthanasia diperbolehkan untuk dilakukan di Amerika Serikat.
Namun di Indonesia, masalah euthanasia ini tetap dilarang. Oleh karenanya,
dikatakan bahwa masalah HAM bukanlah merupakan masalah yuridis semata-mata,
tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-nilai etis & moral yang ada
di suatu masyarakat tertentu.
Sejak berlakunya KUHP sampai saat ini, belum ada kasus yang
secara nyata terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan euthanasia seperti
diatur dalam pasal 344 KUHP yang sampai ke pengadilan.
Hal ini mungkin disebabkan karena:
1.
Bila memang benar terjadi
di Indonesia, tetapi tidak pernah dilaporkan ke polisi, sehingga sulit untuk
pengusutan lebih lanjut.
2.
Keluarga korban tidak tahu
bahwa telah terjadi kematian sebagai euthanasia, karena masyarakat Indonesia
masih awam terhadap hokum, apalagi menyangkut euthanasia.
3.
Alat-alat kedokteran di
rumah sakit di Indonesia belum semodern di negara maju, & kalaupun ada,
masih terlalu mahal untuk dapat digunakan oleh masyarakat umum, sebagai
pencegah kematian seorang pasien secara teknis.
Di samping itu, dari hukum materilnya sendiri, yaitu pasal 344
KUHP, sulit untuk dipenuhi unsur-unsurnya, sehingga bila terjadi kasus, maka
akan sulit pembuktiannya.
Apapun alasannya, bila
tindakan dilakukan dengan tujuan mengakhiri hidup seseorang maka dapat
digolongkan sebagai tindak pidana pembunuhan.Namun dalam hal euthanasia
hendaknya tidak secara gegabah memberikan penilaian, apalagi jenis & alasan
euthanasia yang bermacam-macam.
Perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh penegak hukum tentang
hal-hal yang mempengaruhi emosi seorang dokter yang secara langsung berhadapan
dengan pasien, antara lain penderitaan pasien mengatasi penyakitnya, kondisi
penyakit yang sudah stadium terminal & tidak mungkin lagi diobati.
Oleh sebab itu, hukuman untuk tindakan euthanasia aktif yang
pernah terjadi di Belanda misalnya, hanya berupa hukuman percobaan yang sangat
ringan.Bahkan pada beberapa kasus nampak ada kecenderungan hakim untuk tidak
menghukum pelaku euthanasia.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia
di Indonesia tetap dilarang.Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang
masih berlaku hingga saat ini. Akan tetapi perumusannya dapat menimbulkan
kesulitan bagi para penegak hukum untuk menerapkannya atau mengadakan
penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut
B. SARAN
Makalah
ini sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagai kelompok
mengharapkan kritikan dan saran dari dosen pengajar dan teman – teman sesama
mahasiswa.Selain itu dalam hal euthanasia hendaknya tidak secara gegabah
memberikan penilaian, apalagi jenis & alasan euthanasia yang
bermacam-macam.
Kita
sebagai tenaga kesehatan harus bijak dalam mengambil keputusan dan mempertimbangkan
setiap apapun ynang akan dilakukan.
.
DAFTAR PUSTAKA
Bardui, F. DKK.2000. Ilmu Keperawatan Jilid 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Karo- Karo, Andre. 1987. Etika Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga
Shannon, Thomas(Diterjemahkan K.Bertense). 1995. Pengantar Biotika.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Stevens, P.J.M. DKK. 1999. Ilmu Keperawatan Jilid 2.
Jakarta: Buku kedokteran EGC.
Shannon, Thomas(Diterjemahkan K.Bertense). 1995. Pengantar Biotika.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Karo- Karo, Andre. 1987. Etika Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar