Jumat, 05 Mei 2017

Makalah tentang Euthanasia


BAB 1
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya.Satu satunya jawaban tersedia di dalam ajaran agama.Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan.Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu kematiannya.
Euthanasia merupakan tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan,ketika tindakan tersebutdapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya. Secara umum kematian adalah suatu topik yg sangat ditakuti oleh publik.Dalam kontak kesehatan modern, kematian tidaklah menjadi sesuatu yg datang secara tiba-tiba.Kematian juga dapat dilakukan secara legal dan masih menjadi kontrofersi dikalangan masyarakat khususnya didunia kesehatan.Pembunuhan secara legal yg kita kenal yaitu EUTHANASIA.Euthanasia dapat juga diartikan sebagai suatu tindakan yg dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian tanpa adanya rasa sakit.
Sehubungan dengan beberapa hal diatas, penulis mengangkat judul  “Euthanasia”. Hal ini dimaksudkan agar pembaca mengetahui lebih luas tentang Euthanasia.






B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.   Apakah  pengertian Euthanasia?
2.   Apa Konsep tentang kematian ?
3.   Apa saja jenis-jenis dari Euthanasia ?
4.   Bagaimana Etik & Hukum Tentang Euthanasia di Indonesia maupun
Negara-negara lain ?
5.   BagaimanakahPro & Kontra pada Euthanasia ?

C.    TUJUAN PENULISAN
Sebagaimana rumusan masalah diatas, penulis mempunyai tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk memahami pengertian Euthanasia?
2.      Untuk mengetahui Konsep tentang kematian ?
3.      Untuk memahami apa jenis-jenis dari Euthanasia ?
4.      Untuk memahami bagaimanakah Etik & Hukum Tentang Euthanasia di Indonesia maupun Negara-negara lain ?
5.      Untuk mengetahui Pro & Kontra pada Euthanasia ?

D.    MANFAAT PENULISAN
Sebagaimana mempunyai tujuan seperti yang tersebut diatas, penulis mempunyai manfaat sebagai berikut :
1.   Manfaat secara teoristis sangat diharapkan karya ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi para khalayak.


2.    Manfaat Praktis
a.    Bagi Pembaca
Sebagai bahan wacana yang dapat di gunakan untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam mempelajari makalah tentang Euthanasia.
b.    Bagi Penulis
     Sebagai sarana untuk menambah pengalaman dalam penulisan karya tulis,serta untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang  Euthanasia.
c.    Bagi Penulis lain
     Dapat menjadi bahan yang dapat digunakan sebagai tambahan informasi,dan referensi apabila penulis lain melakukan penelitian serupa agar mampu membuat makalah yang lebih sempurna.















BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN EUTHANASIA
Euthanasia (eu = baik, thanato = mati) atau good death / easy death sering pula disebut “mercy killing”. Pada hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien. Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut.
Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia.Namun, uniknya kemajuan dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika.
Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic, menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.
Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy killing).Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.
Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti “mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”.
Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.
           
B.     KONSEP-KONSEP KEMATIAN
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang kematian.Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan mempergunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah baru dalam euthanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan telah mati.
Berikut ini beberapa konsep tentang mati
1.    Mati sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari kriteria mati berupa berhentinya jantung.Dalam PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru.Namun kriteria ini sudah ketinggalan zaman.Dalam pengalaman kedokteran, teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semula terhenti dapat dipulihkan kembali.
2.    Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.
3.    Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
Konsep inipun dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati.Untuk kepentingan transplantasi, konsep ini menguntungkan.Namun, secara moral tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.
4.    Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi social.
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk sosial, yaitu individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kemampuan mengingat, mengambil keputusan, dan sebagainya, maka penggerak dari otak, baik secara fisik maupun sosial, makin banyak dipergunakan.Pusat pengendali ini terletak dalam batang otak.Olah karena itu, jika batang otak telah mati, dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan sosial telah mati.Dalam keadaan seperti ini, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi.
Yang penting dalam penentuan saat mati di sini adalah proses kematian tersebut sudah tidak dapat dibalikkan lagi (irreversibel), meski menggunakan teknik penghidupan kembali apapun.

C.    JENIS-JENIS EUTHANASIA
1.      Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi empat yaitu euthanasia aktif, euthanasia pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif
a.      Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh dokter atau tenaga kesehatan untuk mencabut atau mengakhiri hidup sang pasien, misalnya dengan memberikan obat-obat yang mematikan melalui suntikan, maupun tablet.


b.   Eutanasia pasif
Juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit.Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan keluargan karena ketidak sanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang tidak mungkin untuk membayar biaya pengobatannya, dan pihak rumah sakit akan meminta untuk dibuat "pernyataan pulang paksa". Bila meninggal pun pasien diharapkan mati secara alamiah.Ini sebagai upaya defensif medis.
c.         Eutanasia agresif
Suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
d.        Eutanasia non agresif
Atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan.

2.      Eutanasia ditinjau dari sudut pemberitahuan
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
a.    Eutanasia di luar kemauan pasien
Yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup.Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
b.   Eutanasia secara tidak sukarela
Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo).Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
c.    Eutanasia secara sukarela
Dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.
3.      Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
a.    Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
b.    Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela

D.      ETIK & HUKUM EUTHANASIA DI INDONESIA MAUPUN  NEGARA-NEGARA LAIN.

1.      EUTHANASIA DIPANDANG DARI KODE ETIK KEPERAWATAN DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN
Mengapa manusia harus berilmu karena manusia pada dasarnya ingin mewujudkan “makna” hidupnya baik yang menyangkut material, imaterial maupun suasana batinnya, karena segala macam upaya dilakukan untuk mendapatkan ilmu.
Ilmu yang oleh banyak orang dikatakan bebas nilai, seringkali harus berhadapan dengan kenyataan hidup dalam konteks relasi sosial. Karenanya kemudian timbul istilah etika ilmu pengetahuan, walaupun etika itu sendiri tidak termasuk dalam kawasan ilmu. Hal-hal seperti ini akan sangat jelas terasa pada ilmu-ilmu yang secara langsung dan segera berhubungan dengan kebutuhan manusia, seperti ilmu biologi, kedokteran dan lainnya yang dekat dengan kebutuhan “primer” manusia.
Menghadapi realita semacam itu maka sangat terasa untuk memasukkan dimensi etis dalam pengembangan ilmu maupun penerapan ilmu dalam kehidupan keseharian. Sebagai contoh teknologi transgenik, cloning merupakan isu yang banyak menyita perhatian umat manusia karena menyangkut secara langsung kehidupannya. Ketika ditemukan teknologi operasi plastik untuk merubah bentuk bagian-bagian tubuh serta teknologi sejenisnya, perdebatan diantara pihak yang pro maupun kontra nampak nyata terletak pada perdebatan dimensi etika dan bukan pada ilmu/teknologinya itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi etika tidak dapat dipisahkan dengan ilmu itu sendiri. Walaupun dilain pihak ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dan tidak perlu dicegah perkembangannya. Apalagi ilmu yang menyangkut langsung kepada keputusan tentang hidup matinya manusia yaituEuthanasia dapat dipastikan menjadi bahan perdebatan yang tidak saja menyangkut dimensi etis, tetapi telah melibatkan dimensi-dimensi lain yang masing-masing memiliki standar/ukuran kebenaran.
Bila kembali pada kebenaran yang menjadi pijakan dalam pengembangan ilmu, serta realitas adanya berbagai macam ilmu, maka setiap ilmu harus dinilai dengan standarnya sendiri. Selanjutnya dalam rangka situasi sosial yang ada maka penilaian tersebut akan dengan sendirinya bersifat relatif.
Dalam euthanasia, setidaknya terdapat empat macam ilmu yang terlibat didalamnya yaitu hukum, hak asasi, biologi/kedokteran dan agama, yang pasti masing-masing memiliki standar kebenaran yang berbeda. Pertanyaannya tentu bagaimana proses keputusan euthanasia harus diambil untuk dapat dilaksanakan tanpa melanggar kebenaran masing-masing, untuk itu tidak ada jalan lain, selain mengikuti kebenaran relatif.
Etika, sering lebih terasa digunakan sebagai pijakan oleh praktisi ilmu, dibanding pihak yang mengembangkan ilmu itu sendiri. Profesi-profesi seperti ahli hukum, dokter dan sebagainya merupakan praktisi ilmu yang sering dituntut secara kuat etikanya dalam menerapkan ilmunya. Pertanyaannya adalah etika yang mana yang harus digunakan oleh seorang praktisi ilmu. Lebih lanjut apabila beberapa ilmu harus berperan secara bersama-sama, maka etika yang harus digunakan tentu diutamakan etika yang berlaku bagi masyarakat pengguna ilmu tersebut.
Ilmu yang seharusnya menjadikan hidup lebih mudah, lebih nikmat, lebih efisien dan sebagainya, seringkali justru membelenggu hakekat sebagai manusia, bahkan dapat secara nyata menghancurkan kehidupan. Kekecewaan Einstein terhadap penggunaan hukum fisika modern dalam kasus Hiroshima, “kemajuan teknologi industri di satu pihak dan polusi yang ditimbulkannya merupakan contoh bahwa kemajuan ilmu memiliki dua sisi yang saling kontradiktif”. Demikian pula penemuan-penemuan dibidang kedokteran seringkali sangat mudah dilihat sisi positif dan negatifnya, seperti penggunaan bahan dalam anestesi, teknik-teknik pembedahan, fertilitas, euthanasia dan sebagainya. Kenyataan tersebut menunjukkan semakin jelas bahwa ilmu bersifat bebas nilai. Disinilah pentingnya norma dan etika dalam penggunaan ilmu, yang hendaknya menjadi konsensus bagi umat manusia. Klaim-klaim hukum terhadap tindakan dokter dalam euthanasia merupakan bentuk lain dari sisi negatif dalam penerapan ilmu, yang terkadang sama sekali tidak terbayangkan oleh dokter yang bersangkutan.

2.      ASPEK HUKUM DALAM PELAKSANAAN EUTHANASIA DI INDONESIA
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian.
Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar, & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya.
Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan.Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian.Tapi, bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya?
Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.
Adakah sesuatu yang istimewa yang membuat euthanasia selalu menarik untuk dibicarakan?Para ahli agama, moral, medis, & hukum belum menemukan kata sepakat dalam menghadapi keinginan pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Situasi ini menimbulkan dilema bagi para dokter, apakah ia mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, dengan dalih mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Sudah barang tentu dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik dalam batinnya.
Sebagai dampak dari kemajuan kemajuan ilmu & teknologi kedokteran (iptekdok), kecuali manfaat, ternyata berdampak terhadap nilai-nilai etik/moral, agama, hukum, sosial, budaya, & aspek lainnya.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat kabur batas antara hidup & mati. Tidak jarang seseorang yang telah berhenti pernapasannya & telah berhenti denyut jantungnya, berkat intervensi medis misalnya alat bantu nafas (respirator), dapat bangkit kembali.
Kadang upaya penyelamatan berhasil sempurna tanpa cacat, tapi terkadang fungsi pernapasan & jantung kembali normal, tanpa disertai pulihnya kesadaran, yang terkadang bersifat permanen. Secara klinis dia tergolong “hidup”, tetapi secara sosial apa artinya? Dia hanya bertahan hidup dengan bantuan berbagai alat medis.
Bantuan alat medis tersebut menjadi patokan penentuan kematian pasien tersebut.Permasalahan penentuan saat kematian sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun keluarga pasien dalam kelanjutan pengobatan, apakah dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa ke fase kematian. Penghentian tindakan medis tersebut merupakan salah satu bentuk dari euthanasia.Sampai saat ini, euthanasia masih menimbulkan pro & kontra di masyarakat.
Mereka yang menyetujui tindakan euthanasia berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan persetujuan & dilakukan dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien.Prinsip kelompok ini adalah manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita.Dengan demikian, tujuan utama kelompok ini yaitu meringankan penderitaan pasien dengan memperbaiki resiko hidupnya.
Kelompok yang kontra terhadap euthanasia berpendapat bahwa euthanasia merupakan tindakan pembunuhan terselubung, karenanya bertentangan dengan kehendak Tuhan.Kematian semata-mata adalah hak dari Tuhan, sehingga manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan kematiannya.
Menurut PP no.18/1981 pasal 1g: menyebutkan bahwa: “Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan, & atau denyut jantung seseorang telah berhenti”. Definisi mati ini merupakan definisi yang berlaku di Indonesia.
Mati itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berhentinya kehidupan secara permanen (permanent cessation of life). Hanya saja, untuk memahaminya terlebih dahulu perlu memahami apa yang disebut hidup.
Para ahli sependapat jika definisi hidup adalah berfungsinya berbagai organ vital (paru-paru,jantung, & otak) sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh adanya konsumsi oksigen. Dengan demikian definisi mati dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara permanen fungsi organ-organ vital sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen.
Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata.
Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang.Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan.
Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut:
Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun.”
Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.”
Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.”\
Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun”
Pada dewasa ini, para dokter & petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis dari semua masalah yang ada itu. Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter & tenaga kesehatan.Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang seringkali menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya.Pasien tersebut berulangkali memohon dokter untuk mengakhiri hidupnya.Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat disebut euthanasia.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan.Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis, & dapat dijerat hukum sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan, yang berbunyi :
(1)      Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2)     Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, yaitu pasal 1313, 1314, 1315, & 1319 KUHPer tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian.Pasal 1320 KUHPer menyebutkan bahwa untuk mengadakan perjanjian dituntut izin berdasarkan kemauan bebas dari kedua belah pihak.Sehingga bila seorang dokter melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien, secara hukum dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.Tindakan menghentikan perawatan medis yang dianggap tidak ada gunanya lagi, sebaiknya dimaksudkan untuk mencegah tindakan medis yang tidak lagi merupakan kompetensinya, & bukan maksud untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
Dengan kata lain, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien & bukan mengakhiri hidup pasien. Ini sesuai dengan pendapat Prof.Olga Lelacic yang mengatakan: Dalam kenyataan yang meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak ingin mati, tetapi ingin mengakhiri atau ingin lepas dari penderitaan karena penyakitnya.
Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia ? Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of self determination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang tidak dapat disimpangi oleh siapapun & menuntut penghargaan & pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
a.    Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
b.    Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
c.    Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya.

3.      ASPEK HUKUM DALAM PELAKSANAAN EUTHANASIA DI NEGARA LAIN
Sejauh ini euthanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di Negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa Negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark termasuk di Indonesia.
a.     Euthanasia di Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi Negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tidak dapat disembuhkan lagi, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam KItab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan criminal.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002,sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang Belanda, dimana seorang dokter yang melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
b.    Euthanasia di Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama.Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut “Right of the terminally ill bill” (UU tentang hak pasien terminal).Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.Dengan demikian menurut aturan hukum di Australia, tindakan euthanasia tidak dibenarkan.
c.     Euthanasia di Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002.Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan “birokrasi kematian”.
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelahBelanda dan negara bagian Oregon di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.
d.    Euthanasia di Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.
e.     Euthanasia di Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa “membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri.”
Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.
f.      Euthanasia di Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain’s Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor “kemungkinan hidup si bayi” sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.

E.       PRO & KONTRA PADA EUTHANASIA
Euthanasia atau suntik mati hingga kini masih menjadi pro kontra di Indonesia.Secara moral dan etika, Euthanasia tidak dibenarkan karena dianggap tidak ada bedanya dengan tindakan pembunuhan. Namun disisi lain, Euthanasia adalah sebuah pilihan bagi pasien yang secara medis tidak punya harapan hidup lagi.
Belanda menjadi negara pertama di dunia yang mengizinkan seorang dokter mengakhiri hidup pasien, akibat penyakit yang dinilai tidak lagi bisa disembuhkan dan menyebabkan penderitaan yang tidak tertanggungkan.
Menurut undang-undang negara itu, tindakan Euthanasia dapat diizinkan jika ada rekomendasi medis yang dikeluarkan setelah mempertimbangkan tiga hal. Yaitu pasien di nilai tidak dapat disembuhkan, ia dalam keadaan sadar dan sepenuhnya setuju dengan prosedur yang akan ditempuh dan penderitaannya dinilai tidak lagi tertanggungkan.
Undang-Undang Euthanasia yang pertama di dunia sebenarnya lahir di Australia.Undang undang itu disahkan di parlemen negara bagian Australia Utara pada tahun 1996.Namun pemerintan Federal menolaknya 8 bulan kemudian. Di banyak negara lain, Euthanasia masih dianggap tidak ada bedanya dengan pembunuhan. Karena masalah moral, etika maupun religius, Euthanasia tetap tabu dilakukan.
Adapun Pro & Kontra tentang Euthanasia diantaranya sebagai berikut:
1.    Pro Euthanasia
Kelompok ini menyatakan bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan, dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien.Salah satu prinsip yang menjadi pedoman kelompk ini adalah pendapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita.Jadi, tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan pasien.
Argumen yang paling sering digunakan adalah argumen atas dasar belas kasihan terhadap mereka yang menderita sakit berat dan secara medis tidak mempunyai harapan untuk pulih. Ada dua argumen dalam pro Euthanasia, diantaranya:
a.       Argumen pokok, bahwa kematian menjadi jalan yang dipilih demi menghindari rasa sakit yang luar biasa dan penderitaan tanpa harapan si pasien.
b.      Argumen perasaan hormat atau agung terhadap manusia yang ada hubungannya dengan suatu pilihan yang bebas sebagai hak asasi. Setiap orang memiliki hak asasi. Di dalamnya termasuk hak untuk hidup maupun hak untuk mati.
2.    Kontra Euthanasia
Setiap orang menerima prinsip nilai hidup manusia.Orang-orang tidak beragama pun, yang tidak menerima argumen teologis mengenai kesucian hidup, setuju bahwa hidup manusia itu sangat berharga dan harus dilindungi.Mereka setuju bahwa membunuh orang adalah tindakan yang salah.Bagi mereka, euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung.Bagi orang beragama, euthanasia merupakan tindakan immoral dan bertentangan dengan kehendak Tuhan.Mereka berpendapat bahwa hidup adalah semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga tidak ada seorang pun atau institusi manapun yang berhak mencabutnya, bagaimanapun keadaan penderita tersebut.Dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak memiliki hak untuk mati.
Penolakan euthanasia ini berkaitan erat dengan penolakan abortus atas dasar argumen “kesucian hidup”. Karena kehidupan itu sendiri berharga, maka hidup manusia tidak pernah boleh diakhiri dalam keadaan apa pun juga. Banyak orang menolak euthanasia langsung atau aktif karena takut akan “menginjak lereng licin” (the slippery slope). Jika kita boleh membunuh orang yang sedang dalam proses meninggal dunia atau pasien koma yang irreversible maka bisa jadi kita akan memperluas pengertian dan mulai membunuh bayi yang baru lahir, mereka yang sakit jiwa, anak cacat mental, orang yang tidak produktif atau secara sosial tidak diinginkan. Begitu batas-batas untuk membunuh diperluas, tidak ada lagi orang yang aman.
Argumen yang lain adalah argumen berdasarkan ihwal mengasihi diri sendiri. Ihwal mengasihi diri sendiri secara bertanggung jawab melarang euthanasia. “Memberikan kehidupan sebagai hadiah dan korban bagi kehidupan orang lain dapat dibenarkan, sementara menyebabkan kematian secara langsung karena kesulitan pribadi tidak dibenarkan”. Dasar bagi larangan tersebut adalah panggilan Allah atas manusia agar mewujudkan potensi dirinya dan mencapai kepenuhan diri.Manusia juga harus terbuka terhadap horizon makna ini, juga dalam situasi kemalangan, sakit, penderitaan, yang dapat mendorongnya untuk melakukan bunuh diri, karena kehidupan fisik manusia selalu ditopang dan dilindungi Allah yang menjamin makna hidup.
Ada beberapa alasan pro-kontra euthanasia aktif :
Alasan pro euthanasia antara lain:
1.    Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat. Maka seseorang mempunyai hak memilih cara kematiannya.
2.    Adanya hak privasi yang secara legal melekat pada tiap orang. Maka seseorang berhak sesuai privasi nya.
3.    Euthanasia adalah tindakan belas – kasihan/kemurahan pada si sakit. Maka tidak bertentangan dengan peri-kemanusiaan. Meringankan penderitaan sesama adalah tindakan kebajikan.
4.    Euthanasia adalah juga tindakan belas kasih pada keluarga. Bukan hanya si sakit yang menderita, tetapi juga keluarganya. Meringankan penderitaan si sakit berarti meringankan penderitaan keluarga khususnya penderitaan psikologis.
5.    Euthanasia mengurangi beban ekonomi keluarga. Dari pada membuang dana untuk usaha yang mungkin sia-sia, lebih baik uang dipakai untuk keluarga yang masih hidup.
6.    Euthanasia meringankan beban biaya sosial masyarakat, bukan hanya dari segi ekonomi tetapi juga beban sosial misalnya dengan mengurangi biaya perawatan mereka yang cacat secara permanen.
Alasan-alasan kontra euthanasia aktif, dikemukakan sebagai berikut :
1.    Tidak ada alasan moral apapun yang mengijinkan seseorang melakukan ‘pembunuhan’ maupun ‘bunuh diri’. Kematian adalah hak Allah. Maka tidak ada hak manusia untuk memilih cara kematiannya.
2.    Hak privasi adalah hak yang dinikmati dalam hidup. Hak hidup memang tak terbatas, tetapi hak ‘privasi’ selalu terbatas, bahkan dalam kehidupan yang dijalani sehari-hari. Selalu privasi bisa dibatasi oleh hak privacy orang lain. Maka hak privasi tidak relevan digunakan mengklaim hak untuk memilih cara kematian seseorang.
3.    Walaupun euthanasia dapat mengakhiri penderitaan, euthanasia tetaplah suatu pembunuhan. Kalau penderitaan diakhiri dengan euthanasia, itu sama artinya menghalalkan cara untuk tujuan tertentu. Rumus tersebut tidak bisa diterima secara moral.



BEBERAPA KASUS YANG TERJADI
Kasus Hasan Kusuma – Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di luar keinginan pasien.Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.

Kasus seorang wanita New Jersey - Amerika Serikat, Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan.Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orangtuanya meminta agar dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orangtua pasien ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).
Kasus Terri Schiavo
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Terri Schiavo
Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya.Oleh karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktek dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.
Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi.Ketika akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut.Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush.Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.

Kasus "Doctor Death"
Dr. Jack Kevorkian yang dijuluki "Doctor Death", seperti dilaporkan Lori A. Roscoe <35>. Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale<36> ,di California diduga puluhan pasien telah "ditolong" oleh Kevorkian untuk menjemput ajalnya di RS tersebut. Kevorkian berargumen apa yang dilakukannya semata demi "menolong" mereka. Tapi para penentangnya menyebut, apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.

Kasus rumah sakit Boramae – Korea
Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati (liver cirrhosis). Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan melakukan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. 1 minggu sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama 24 jam saja.














BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
HAM yang terutama adalah “hak untuk hidup”, yang dimaksudkan untuk melindungi nyawa seseorang terhadap tindakan sewenang-wenang dari orang lain. Oleh karena itu masalah euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan dokter atas permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja pasien yang sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup milik pasien.
Tetapi dalam perkembangannya, di negara maju seperti Amerika Serikat, diakui pula adanya ‘hak untuk mati’ walaupun tidak mutlak.Dalam keadaan tertentu, euthanasia diperbolehkan untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia, masalah euthanasia ini tetap dilarang. Oleh karenanya, dikatakan bahwa masalah HAM bukanlah merupakan masalah yuridis semata-mata, tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-nilai etis & moral yang ada di suatu masyarakat tertentu.
Sejak berlakunya KUHP sampai saat ini, belum ada kasus yang secara nyata terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan euthanasia seperti diatur dalam pasal 344 KUHP yang sampai ke pengadilan.
Hal ini mungkin disebabkan karena:
1.    Bila memang benar terjadi di Indonesia, tetapi tidak pernah dilaporkan ke polisi, sehingga sulit untuk pengusutan lebih lanjut.
2.    Keluarga korban tidak tahu bahwa telah terjadi kematian sebagai euthanasia, karena masyarakat Indonesia masih awam terhadap hokum, apalagi menyangkut euthanasia.
3.    Alat-alat kedokteran di rumah sakit di Indonesia belum semodern di negara maju, & kalaupun ada, masih terlalu mahal untuk dapat digunakan oleh masyarakat umum, sebagai pencegah kematian seorang pasien secara teknis.
Di samping itu, dari hukum materilnya sendiri, yaitu pasal 344 KUHP, sulit untuk dipenuhi unsur-unsurnya, sehingga bila terjadi kasus, maka akan sulit pembuktiannya.
Apapun alasannya, bila tindakan dilakukan dengan tujuan mengakhiri hidup seseorang maka dapat digolongkan sebagai tindak pidana pembunuhan.Namun dalam hal euthanasia hendaknya tidak secara gegabah memberikan penilaian, apalagi jenis & alasan euthanasia yang bermacam-macam.
Perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh penegak hukum tentang hal-hal yang mempengaruhi emosi seorang dokter yang secara langsung berhadapan dengan pasien, antara lain penderitaan pasien mengatasi penyakitnya, kondisi penyakit yang sudah stadium terminal & tidak mungkin lagi diobati.
Oleh sebab itu, hukuman untuk tindakan euthanasia aktif yang pernah terjadi di Belanda misalnya, hanya berupa hukuman percobaan yang sangat ringan.Bahkan pada beberapa kasus nampak ada kecenderungan hakim untuk tidak menghukum pelaku euthanasia.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia di Indonesia tetap dilarang.Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang masih berlaku hingga saat ini. Akan tetapi perumusannya dapat menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum untuk menerapkannya atau mengadakan penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut




B.     SARAN
Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagai kelompok mengharapkan kritikan dan saran dari dosen pengajar dan teman – teman sesama mahasiswa.Selain itu dalam hal euthanasia hendaknya tidak secara gegabah memberikan penilaian, apalagi jenis & alasan euthanasia yang bermacam-macam.
Kita sebagai tenaga kesehatan harus bijak dalam mengambil keputusan dan mempertimbangkan setiap apapun ynang akan dilakukan.
.

















DAFTAR PUSTAKA

Bardui, F. DKK.2000. Ilmu Keperawatan Jilid 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Karo- Karo, Andre. 1987. Etika Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga

Shannon, Thomas(Diterjemahkan K.Bertense). 1995. Pengantar Biotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Stevens, P.J.M. DKK. 1999. Ilmu Keperawatan Jilid  2. Jakarta: Buku kedokteran  EGC.

Shannon, Thomas(Diterjemahkan K.Bertense). 1995. Pengantar Biotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Karo- Karo, Andre. 1987. Etika Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga



 

 

 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar